Thursday, September 5, 2013

what is NILA?

Sebagai seseorang yang bernama Nila, seringkali saya dihadapkan pada peristiwa dimana nama saya dihubungkan-hubungkan dengan nama ikan (ikan nila) atau sebuah pepatah yang menyatakan "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Namun disayangkan, tak banyak yang mengetahui bahwa nila sebenarnya adalah sebuah warna.

Yup, Nila adalah sebuah warna! Acap kali, jika saya menyebutkan ini, orang-orang akan bertanya seperti apa nila itu. Lalu saya akan menjawab, "semacam warna violet". Sebagian akan paham, namun tak sedikit yang lanjut bertanya, "lalu warna violet itu seperti apa?" -_-

Pertanyaan ini biasanya akan berhenti ketika saya menjawab, "seperti warna ungu". Lalu bunyi O panjang akan menjadi respon dari statemen tersebut :D

Benarkah nila itu seperti warna ungu atau violet? Sebenarnya tidak! Secara ilmiah, nila terletak di antara biru dan violet. Seperti apakah nila itu? Dapat dilihat pada tabel warna yang terdapat pada laman berikut ini:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_warna

Ketika iseng-iseng googling, saya menemukan sebuah blog yang mendefinisikan warna nila sebagai berikut:
"Warna nila mengartikan sebuah dasar yang sangat dasar dengan seluruh kesederhanaan yang nampak padanya. Warna yang menurut pasrah, berserah diri, dan menerima apapun yang terjadi."

It's amazing how it really represents me!
Terbantahkankah perkataan Shakespeare yang menyatakan "apalah artinya sebuah nama"??
Saya tidak tahu bagaimana dengan nila-nila lainnya, yang pasti bagi saya, definisi di atas dengan tepat menggambarkan pola berpikir saya.

Pasrah dan berserah tentu saja merupakan 2 hal yang berbeda. Bagi saya, pasrah bermakna menerima nasib tanpa adanya usaha. Namun jika kita berusaha sebaik yang kita mampu, lalu menyerahkan hasil sesuai kehendak Allaah, itulah yang dimaksud dengan berserah diri. Dan saya berusaha sebaik mungkin untuk terus berada pada level berserah diri. :)

Sebuah artikel mengenai makna aura menjelaskan bahwa seseorang yang memancarkan aura berwarna nila merupakan orang yang sifatnya hangat, menyembuhkan dan mengasuh. Senang memecahkan masalah, senang menolong. Sifat negatifnya ketidakmampuan mengatakan “tidak” sehingga sering dimanfaatkan orang lain. Well...you are the one who decides whether it perfectly matches me or not :D

Lalu, bagaimana dengan nama ikan dan peribahasa di atas? Sebagai salah satu dari sekian banyak wanita yang bernama nila, saya cenderung tidak suka jika nama saya dikait-kaitkan dengan dua hal tersebut. Namun, mari coba kita lihat apakah ada filosofi tersendiri di balik nama nila jika dikaitkan kepada dua hal tersebut.

Kebanyakan orang Indonesia gemar sekali menjadikan ikan nila menjadi menu ikan bakar. Dagingnya lembut dan manis. Bagi mereka yang pernah menjadi penikmat ikan nila, tentu saja sudah paham bahwa ikan ini memiliki tulang-tulang halus dan kecil yang dapat tersangkut pada tenggorokan jika tak hati-hati ketika mengkonsumsinya. Atau bagi mereka yang pernah mencoba memasaknya, tentu mengetahui bahwa ikan ini memiliki sirip yang tajam sekali di bagian atasnya yang dapat merobek tangan dengan mudahnya jika tak berhati-hati dalam memegangnya.

Dua hal di atas, bagi saya, menyiratkan satu hal; kami, para wanita bernama nila, akan menjadi sosok yang manis dan tenang, namun kami butuh perlakuan khusus, berhati-hatilah dengan kami, if you mess up with us, we surely will show you what's the consequences :p

Jika tau bagaimana cara berhadapan dengan kami, tentu akan merasakan bagaimana manisnya kami. Namun, jika tak berhati-hati, tentu saja kami akan membuat orang tersebut merasakan bagaimana tajamnya sirip atau tulang-tulang kami :D hehehe

Selanjutnya, filosofi di balik pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga". Nila di dalam pepatah ini sebenarnya merujuk kepada air nira yang didapatkan dari pohon aren. Nira mengandung alkohol, oleh karena itu bisa diolah menjadi minuman tuak. Dengan demikian jelas sudah apa yang akan terjadi bila setetes nira jatuh ke dalam sebelanga susu. Namun coba cermati lagi makna peribahasa ini. Nila yang hanya setititk, dibandingkan dengan susu yang sebelanga. Bukankah ini dengan jelas menyiratkan kekuatan setetes nila? Kenapa nila yang hanya satu tetes bisa mempengaruhi susu yang sebelanga? Tentulah pengaruh itu sangat besar sekali.

Mencermati hidup saya dan beberapa orang nila yang saya kenal, dapat saya simpulkan memang sebagian besar wanita bernama nila memiliki pengaruh yang kuat di dalam lingkungannya. Sekali lagi saya tekankan, sebagian besar bermakna bukan seluruhnya. Kebanyakan nila yang saya kenal memiliki binar dan aura tersendiri, walau sebagian juga ada yang redup tak bercahaya. Saya rasa ulasan seperti ini tak butuh statistik pasti dan research mendalam tentunya :D

Namun, lagi-lagi peribahasa ini menyiratkan hal yang sama dengan filosofi ikan, don't mess up with nila! A girl named Nila can stand against the whole world alone and still can survive the way a drop of nila contaminates a pot of milk. You can't imagine how powerful nila is....! (lebay chyn)

Hahaha sepertinya saya malah menggiring opini pembaca ke arah yang salah :D

Wanita-wanita bernama Nila biasanya memiliki aura tersendiri yang membuat mereka bersikap dan terlihat sangat manis hingga membuat orang-orang disekitar mereka tersihir dan tak bisa menghindari kekuatan aura tersebut. Hal ini membuat kehadiran mereka selalu dirindukan (kata saya).

Yahhh begitulah kicauan Nila Husandi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan namanya. Apapun itu teori-teori mengenai nama Nila, saya pada awalnya diberi nama Junila Ramadhani. Junila berarti Juni Lahir, simple :P Lalu, dikarenakan protes beberapa tetangga, nama saya diperpendek menjadi Nila saja dan dibubuhi Husandi di belakangnya, agar kompak dengan kedua abang saya yang bernama Rivo Husandi dan Febi Husandi. SIMPLE...ya begitu simpelnya sejarah nama saya. Tak seribet segala tetek bengek teori di balik nama Nila yang saya utarakan di atas :D

Yup that's it. Thanks for wasting your time reading this hahahaha

related links:
http://haritsindracahya.blogspot.com/2013/03/makna-7-macam-warna-pelangi.html
http://sifatmenurutwarna.blogspot.com/2012/11/sifat-dan-karakter-berdasarkan-warna.html
http://yuriantiku.blogspot.com/2013/03/arti-serta-makna-warna-aura.html
http://www.gelombangotak.com/arti_makna_aura.htm


Monday, August 19, 2013

jangan buru-buru komentar :)


Tahun 1996, ketika aku genap berusia 12 tahun, aku memutuskan mengenakan jilbab untuk menutup aurat. Menjadi satu-satunya siswi di sekolah yang mengenakan jilbab menimbulkan berbagai reaksi.

Banyak yang mendukung, namun tak sedikit yang mencemooh. Prediksi kudisan, panuan, dan botak hinggap sebagai kemungkinan alasan keputusanku. Hingga ada yang mencap sok alim dan melempariku dengan kerikil. Saat itu aku bisa bertahan dan menang. Lalu, 16 tahun kemudian, jilbab ternyata menjadi trend hingga menjamurlah Hijab Community.

Tahun 2002, pertama kalinya aku memiliki gamis dan mengenakannya ke kampus. Belum ada yang melakukannya di kampusku, dan dengan sukses penampilanku dicap seperti emak-emak. Padahal seorang teman di Jakarta mengenakannya ke kampus dalam kesehariannya, dan tak ada masalah. Ini Padang, dan mereka masih awam pada hal itu, dan kali itu aku kalah.

Baru di tahun 2008 keberanianku kembali muncul, dan mulai kembali mengenakannya ke kampus. Kali ini aku tak sendiri, ada seorang teman yang telah pergi haji dan selalu mengenakan gamis. Pun demikian, komentar miring tetap muncul. Gamisku dikatai “baju pinjaman” karna menurut mereka kebesaran. Aku hanya tersenyum. Mereka salah menilai gamis sebagai gaun malam yang super ketat.

Lalu apa yang terjadi empat tahun kemudian? Wanita menggunakan gamis menjadi pemandangan awam dimana-mana. Menguap kemana komentar-komentar mereka? Yang dulunya mengomentari negatif malah sekarang tak mau kalah ketinggalan mengenakan gamis.

Lalu, 2012 menjadi tahun dimana aku berjuang mencoba mulai menutupi auratku dengan lebih sempurna, termasuk mulai benar-benar meninggalkan celana, terutama jeans. Lalu, adakah komentar miring seperti yang sudah-sudah? Banyak! Aku sudah bertekad tak kan lagi kalah seperti pengalamanku di tahun 2002. Semoga Allah SWT membantuku untuk tetap istiqamah.

NB:
Hey, aku berpakaian “begini” mungkin masih terlihat janggal di mata kalian, itu wajar, tapi cobalah tahan dulu komentar-komentar itu yang sangat ingin kalian lontarkan. Siapa tau 10 tahun ke depan pakaian yang “begini” malah jadi trend dan kalian yang haus trend malah berlomba-lomba mengenakannya? Who knows? Apa tak menjijikkan menjilat ludah sendiri?

 
 
Postingan ini merupakan salah satu status facebook saya yang saya posting pada awal tahun 2013 sebagai bentuk jawaban saya terhadap pertanyaan dan komentar (cemoohan tepatnya) ketika orang-orang yang baru mengenal saya melihat perubahan pada cara berpakaian saya. Yang menarik adalah, orang-orang yang mengenal saya dari usia remaja malah tidak terkejut sama sekali dengan perubahan tersebut ^^ seolah-olah it has been me for so long and nothing changed, it IS me!
 
Kemudian, sebuah akun FB besar bertemakan islam mambaca status tersebut dan lalu meminta ijin untuk menjadikan status tersebut sebagai salah satu artikel dalam situs resmi mereka. Postingan itu dengan mengejutkan mendapat angka sharing tertinggi sepanjang sejarah situs tersebut, selama 3 hari berturut-turut artikel tersebut menempati posisi pertama sebagai artikel dengan sharing FB dan Twitter tertinggi, demikian lah laporan admin situs web tersebut. MasyaAllaah...sungguh indah cara Allaah membuat hambaNya merasa lega, dan hal ini sekaligus membungkam komentar-komentar di status tersebut yang menyatakan bahwa status tersebut bernuansa riyaa' :) laporan admin situs tersebut di komentar status seketika menghentikan beberapa komentar miring yg sudah terlanjur mereka lontarkan sebelumnya (semoga Allaah memberikan mereka hidayah) hehehehe yahhh begitulah betapa simple tapi tak terduga-indahnya cara Allaah mencintai hambaNya
 
you may check the article here:

sadly...it's not a happily-ever-after

Most people spend years to find their perfect match, just like me. Some may succeed, some have to cope up with failures.

Every person who had the chance to be close to me knew precisely how I defined a perfect match. There are "only" four criteria for this: he must be smarter than me, more religious than me, a non smoker, and a children-lover.

These criteria sound simple yet I've spent whole life failing in finding a compatible one, a man who fulfills all of the criteria. Right at the moment I decided to stop searching for that "perfect" man, and ironically found out that I couldn't even succeed a "common" man, Allah gave me what I want...a perfect match!

He's just so perfect; smart, religious, mature, a children-lover, a non-smoker, good looking, funny, romantic.....adorable!..if I have to put it all in one word. Even if we have different opinion on so many subjects, but we have so many things in common. Like Allah loves me so much, He gives me a match who loves book the way I do, a man who has the same taste with me on music and movies. So now, must I complaint if I have to face the fact that he is six years YOUNGER than me???

Long ago I realized that Allah won't give you all you want, there must be something missing or lacking, just to see if you still can be grateful for the grace on your hands. So now, will I focus on what's lacking or be very grateful for all the grace Allah pours upon me? :)


******

I wrote that down on my facebook note on May 11th, 2012....7 months later, that man proposed me to my dad, and it turned out to be a NO :'( I felt like the whole world was on chaos. I finally found 'my man' and Allaah did not put us together in marriage. It felt so unfair at that moment, but then on June, Allaah answered all my prayers, He showed me why we could not be together. At first I thought it was me, I did not deserve him, he's just too good for me. I kept telling myself those sentences because that's the only way I could accept what happened. But then, two months ago Allaah showed me something I needed to move on. He is the one who does not deserve me, that maybe it's not good to be in marriage with him, that he's not gonna be a perfect husband as I thought before.

Allaah listens....as always. He listens to my du'a. Then what makes me think that I should stop praying? that I should stop delivering du'a? What makes me think that I know what's best for my life, what makes me think I know EVERYTHING???

As a slave I demand too much from my creator...siape gue -_-
Sometimes we forgot, we simply and easily forget all of the graces Allaah gives to us. We simply and easily focus on the unfairness, all of the things that we think are bad for our life.

Wednesday, October 12, 2011

Real Dreams (gonna be my 1st novel)


Lima tahun yang lalu, aku menyempatkan diri merancang sebuah novel di sela-sela kesibukan menulis skripsi. Menemukan lagi file ini kembali menumbuhkan keinginan untuk melanjutkannya. Ini adalah Bab 1 dari sekitar 13 Bab yang akan ku tulis, mohon kritikan teman-teman tetang plot, gaya bahasa dan segalanya. Novel ini diadaptasi dari pengalaman pribadi, nama beberapa tokoh diambil dari nama asli orang-orang yang terlibat di kisah nyata-nya, tapi nama-nama tokoh utama sengaja diubah, demi menjaga privasi (ceile..gaya!) nice to use your names, guys..... :)

______________________

Satu
Awal dari Kisah Ini

            Rana mengigit bibirnya sambil dengan seksama mendengarkan Bu Farida yang sedang menyebutkan nama-nama peringkat kelas empat untuk Cawu ini. Saat ini Cawu tiga, berarti setelah ini Rana akan duduk di kelas enam. Dia sangat ingin meraih peringkat Cawu ini, karena Cawu lalu hanya berhasil meraih ranking empat.
            “Selanjutnya, peringkat-peringkat untuk kelas lima. Kita mulai dengan kelas 5A.” Suara Bu Farida menggelegar melalui pengeras suara di sekeliling lapangan. Jantung Rana tambah dag dig dug. Tak lama lagi giliran kelasnya. Dia duduk di kelas 5B.
            “Peringkat ke tiga, Lusi Yenjeli!” Gadis pecicilan yang namanya disebutkan itu maju ke depan sambil meloncat-loncat kegirangan. Wajar saja, Cawu lalu dia hanya sanggup bertengger di rangking 6. Rana mengarahkan matanya ke barisan kelas 5A yang ada di sebelah kirinya. Matanya tertuju pada Sischa, peringkat satu kelas 5A Cawu lalu. Dia sedang tersenyum manis sambil mengobrol dengan Rima, teman akrabnya. Ah, dia cantik sekali, batin Rana. Rana mengangkat alisnya, pasti dia lagi yang juara satu, pikirnya. Cantik, kaya, pintar, ramah, apalagi yang dia tak punya. Memikirkan itu membuat Rana sedikit iri. Bibirnya sampai monyong.
Dunia ini sungguh tidak adil, kata hati Rana berbisik. Cawu lalu Sischa hanya dua bulan mengikuti pelajaran di sekolah, dia harus ikut ayahnya yang kontraktor besar itu jalan-jalan ke Eropa. Tapi dia tetap bisa berprestasi berkat bantuan guru-guru privat yang disediakan ayahnya. Dia tidak harus berhadapan dengan Bu Maria yang mengajarkan matematika dengan sepatu siaga di tangan, siap untuk dilemparkan kepada anak-anak yang tidak memperhatikan, atau dengan Pak Yos yang akan menghadiahkan sepuluh pukulan rotan bagi siapa yang tidak hafal tanggal-tanggal atau nama-nama dalam buku sejarah. Dia memang sangat beruntung. Lagi-lagi Rana memoyongkan bibirnya. Benar-benar kebiasaan buruk.
“Peringkat kedua, Ayu Septia Ningsih!” Suara melengking Bu Farida menyadarkan Rana dari lamunannya. Ayu maju ke depan dan berdiri di depan Herman yang rupanya peringkat ke tiga. Ya Tuhan! Ternyata sudah di kelas Rana. Sialan, batinnya, kenapa aku melamun selama itu.
“Peringkat pertama, Rini Agustin!”
Kening Rana berkerut, alisnya bertaut. Huh, dia lagi. Ternyata kali ini Rana belum cukup beruntung untuk meraih peringkat kelas. Eh siapa itu yang disamping Rini, kenapa bukan Sischa, siapa dia?
Rana menolehkan pandangannya ke sebelah kiri, mencari-cari sosok Sischa, tidak ada. “Eh Ka, si Sischa ‘gak juara satu? Siapa tuh cowok?”
Oka mengangkat bahunya, “Gak tau dia siapa, anak baru kali, aku belum pernah liat juga. Si Sischa juara dua, tu lagi di belakang tu cowok!” Oka memberikan isyarat dengan memonyongkan bibirnya.
Rana memfokuskan lagi matanya kebarisan para peringkat. Sischa pasti nangis. Rana akhirnya berhasil menangkap sosok Sischa di depan sana, tapi, ‘gak salah ni, si Sischa malah senyam-senyum gitu sambil ngobrol ama tu cowok! Siapa sih ni cowok?!
Rana menepuk bahu Rio, anak 5A yang berbaris di sebelahnya. “Siapa tu anak, kok ‘gak pernah liat?”
“Dia pindahan dari Jakarta, baru sebulan.”
“Tapi kok Na ‘gak pernah liat Yo? Sebulan kan lumayan lama.”
“Oooo...wajar aja kamu ‘gak pernah liat, jam istirahat dia di kelas terus, baca komiknya, bawa bekal sendiri, jadi ‘gak perlu ke kantin. Pulang juga dah ditungguin sopir di depan gerbang, dia juga lom banyak teman, palingan si Ari, teman sebangkunya.”
“Oo, gitu, pantesaaan!”
“Kenapa kamu nanya-nanya! Suka???” Rio mengedip-ngedipkan matanya.
“Idiiiiih, ada-ada aja kamu Yo, liat juga baru ini!”
“Kali aja kan, di kelas dah banyak yang suka tu, biasa lah, liat yang kinclong dikit aja, langsung de. Dasar cewek!”
Rana diam.

************

            Rana menguap. Bu Maria yang kebetulan sedang melihatnya baru akan melemparkan sepatu ber-hak tebalnya itu dengan kepala Rana sebagai targetnya, tapi...
            “Pengumuman. Bagi semua anggota regu inti harap berkumpul di kantor! Diulangi...” Suara nge-bass Pak Mul yang membahana melalui pengeras suara menghentikan tangan Bu Maria yang nyaris melontarkan roketnya menuju kepala Rana. Rana nyengir. Merasa kali ini dia sangat beruntung. Buru-buru dia keluar bersama 6 orang temannya yang lain. “Missiiiiii ya buuuuuk...!” ujarnya sambil nyengir kuda. Bu Maria mendelik.
            Beberapa anak kelas lima dan empat sudah berkumpul di depan kantor. Pak Mul dan Bu Pad mulai mengatur barisan regu putra dan putri. Beberapa anak kelas 6A menyusul dengan berlari. Eh, tunggu dulu. Ngapain ni cowok ikut2 segala. Anak baru yang Cawu lalu menjadi juara satu di kelas 5A itu mengambil barisan di regu putra. Pak Mul menyuruh masing-masing ketua regu menyiapkan barisan. Rana dan Iwan mengambil posisi di depan barisannya masing-masing dan mulai memberikan aba-aba, lalu kembali ke posisi semula di sebelah kanan regunya.
            “Regu Putri bagaimana persiapannya? Latihan-latihan Cawu lalu sudah mahir semua?” Pak Mul melontarkan pertanyaan itu kepada Rana sebagai ketua regu putri.
            “Siap. Sudah, Pak!” jawab Rana dengan suara lantang.
            “Regu Putra bagaimana?”
            “Siap. Sudah, Pak!” Iwan tak kalah lantang.
            “Bagus kalau begitu, seperti yang sudah bapak sampaikan sebelumnya, Jambore Kota akan dilaksanakan pada peringatan Hari Pramuka. Waktu kita tidak sampai satu bulan untuk menyiapkan segala sesuatunya. Bapak harap tahun ini kita bisa mempertahankan piala bergilir yang telah berhasil kita rebut tahun lalu. Jadi usahakan yang terbaik demi sekolah kalian, mengerti?”
            “Siap. Mengerti, pak!” semua menjawab dengan koor yang nyaris sempurna.
            “Baik sekarang kalian bubar, dan Bu Pad akan membagikan surat izin untuk orang tua kepada kalian. Bubar. Jalan!”
            Semuanya lalu menyerbu Bu Pad kecuali Rana dan Iwan, karena Rana telah terlebih dulu mengamit tangan Iwan. “Wan, tu anak sejak kapan resmi masuk regu intinya?” ujar Rana agak sewot.
            “Si Satria sakit tipus, jadi Pak Mul cari pengganti, dapatnya dia.” Wajah Iwan menyiratkan bahwa dia sendiri pun kurang setuju dengan keputusan Pak Mul.
            “Emang dia bisa? Kita ‘kan ‘dah latihan dari Cawu dua kelas lima kemarin, nah dia, baru aja datang dah main masuk regu inti aja. Pak Mul kan bisa pakai teman kita yang lain, banyak yang mampu kok, dan yang pastinya bisa gabung dalam tim. Aku ‘gak yakin yang lain bisa cocok sama dia. Kita ini berlomba sebagai tim, Wan. Bisa kacau kalau gini...”
            Iwan terdiam sejenak, lalu menjawab lirih. “Kita liat aja dulu, siapa tau dia bagus.”
            Rana menarik nafas panjang. Dia sewot. Apa mungkin Pak Mul milih dia karena dia juara satu dan kaya? Rana adalah tipe anak yang sangat tidak menyukai anak yang terlalu bergantung kepada orang tua. Anak yang bisa juara kelas karena ibu atau bapaknya mengajar di sekolah itu. Anak yang karena kekayaan orang tuanya bisa menyuap guru-guru agar dia mendapat segala kemudahan di sekolah. Anak yang memanfaatkan orang tua atau kakaknya untuk mengerjakan tugas kerajinan tangan yang diminta guru, sehingga hasilnya lebih baik dari teman-temanya. Dan menurut Rana, si ‘anak baru’ ini adalah salah satu tipe orang yang dibencinya.
            Rana adalah anak yang mandiri dan keras. Tumbuh di lingkungan ABRI dan memiliki tiga orang kakak laki-laki membuatnya menjadi pribadi yang keras dan bisa dibilang tomboy. Tak jarang dia berkelahi dengan teman laki-lakinya di sekolah, tinju dan tendangan sudah tak asing lagi baginya. Di rumah pun permainan yang sering dimainkannya adalah permainan laki-laki, karena teman bermainnya tak lain adalah kakak-kakaknya dan juga teman-teman kakaknya yang semuanya sudah pasti laki-laki. Jadi jangan heran kalau kulitnya gelap dan dipenuhi bekas luka. Sama sekali bukan anak perempuan yang manis.

************

            “Iwaaaaaaannnn, saaakeeeeetttt..!” Oka berteriak-teriak kesakitan. Wajahnya meringis menahan rasa sakit di kulit kepalanya. Iwan sedang menarik kunciran ala anak TK Oka sambil cekikikan.
            “Wan, lepas!” teriak Rana. Iwan malah mencibir dan terus menarik kunciran Oka menuju pintu kelas 6A. Tak tahan melihat sahabatnya dikerjai, Rana mencoba melepaskan tangan Iwan dari rambut Oka. Lepas. “Oi, sakit tau!” Rupanya genggaman tangan Rana di lengan Iwan terlalu keras. Iwan mengarahkan kakinya ke perut Rana, tapi Rana berhasil mengelak. Tak mau kalah, Rana ikut-ikutan menghadiahkan kakinya ke dada Iwan. Kena. Iwan tersungkur. Rana hendak kembali ke kelasnya ketika dia menyadari bahwa ternyata dia berada tepat di depan pintu kelas 6A. Rana agak kaget begitu mengetahui si ‘anak baru’ itu ternyata sedari tadi berjongkok di pintu kelasnya sambil memperhatikan perperangan antara dia dan Iwan. Tapi yang lebih membuat jantung Rana serasa hilang adalah kata-kata yang dilontarkan si ‘anak baru’.
            “Oi, tadi celana dalam kamu kliatan tu, pink! Hehehehe...”
            Iwan yang sebelumnya masih meringis sambil memegang dadanya sekarang malah terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Huahahahaha.....preman kok pake pink!” Rasanya ingin sekali Rana sekali lagi memberi Iwan tendangan mautnya, tepat di bibir. Tapi Rana merasa lebih baik dia menyingkir saja.

************
            “Nih!” Oka mengulurkan tangannya yang berisi buah apel merah ke wajah Rana. Dia mengunyah apelnya sendiri dengan lahap. “Wah rejeki dari mana ni?” setelah bertanya begitu Rana langsung mendaratkan giginya ke daging apel yang manis itu. “Enak kan?” Oka balik bertanya sambil tersenyum. “Ho oh manis banget. Eh Intan kamu dikasih Oka juga?” Intan yang baru saja lewat jadi berhenti di samping meja Rana. “Yeeee, baik banget si Oka mau bagi-bagiin kita apel. Ini dikasih Julian tau!”
            Rana mengerutkan keningnya ke arah Oka. “Itu....anak sebelah” jawab Oka sekenanya.
            “Julian? Julian mana?” tanya Rana lagi sambil meneruskan makannya.
            Intan jadi gemas, “Iiiiiih kamu ni ketinggalan banget ya, itu yang anak baru, yang cakep!”
            Rana yang sedang mengunyah reflek menyemburkan isi mulutnya ke wajah Oka yang sedang duduk di depannya. “Yaaaaahhh...Rana jijik de, kalo ‘gak suka apel bilang donk, jadi aku makan sendiri” Oka yang sewot berlari ke kamar kecil untuk membersihkan wajahnya.
            Ogah deh makan apa pun dari tu anak, aku benci! Rana meletakkan apelnya di atas meja.
            “Ada acara apa sampai dia bagi-bagi apel segala?” tanya Rana penuh selidik kepada Intan.
            “Yang aku dengar sih, kemarin si Sischa bagi-bagi lengkeng buat guru-guru sama teman sekelasnya...”
            Huh, cari muka!
            “Kan Papanya baru pulang dari Jakarta...”
            Emang aku peduli!
            “Trus si Julian nanya sama si Sischa gini, eh papa kamu kaya ya, bisa beli lengkeng segini banyak, lengkeng kan tiga puluh ribuan sekilo! Trus Sischa jawab gini, duit papaku banyak kok, jadi ‘gak masalah...”
            Ya iya lah! Beli kebunnya skalian juga bisa kayaknya!
            “Trus si Julian nanya lagi, kalau seandainya papa kamu ngebeliin apel Washington buat guru-guru trus teman-teman di 6A sama 6B, kira-kira lebih banyak ngabisin duit dari ngebeliin lengkeng gak?”
            Apel Washington, apaan ya?
            “Ya aku rasa jauh lebih banyak dong, apel Washington kan mahal ditambah lagi anak kelas sebelah pake dikasih segala, gitu jawab si Sischa. Trus kata temen-temennya si Julian senyum-senyum gini”
            Intan menirukan apa yang menurutnya senyuman Julian saat itu. Terlihat aneh.
            “Akhirnya si Julian bilang gini, kalo gitu besok aku bawa apel Washington buat guru-guru sama semua anak kelas 6, karena papa aku lebih kaya dari papa kamu!”
            Idih, sombong banget tu anak.
            “Sombong banget sih si Julian, minggu depan aku bawain kelapa muda se-truk dari kampung baru tau rasa dia!” Rana sewot, darahnya berkumpul di ubun-ubun.
            “Wakakakakakak....kamu Na, mau nyaingin si Julian pake kelapa muda? ‘Gak level. Emang temen-temen mau disuruh buka tu kelapa sendiri-sendiri pakai gigi? Ada-ada aja kamu...” Intan beranjak meninggalkan Rana yang berusaha menurunkan darahnya dari ubun-ubun.

************
           
            Rana menendang-nendang pohon besar yang ada di halaman sekolahnya. Dia marah sekali. Murka. Posisinya sebagai ketua regu inti putri digantikan oleh Sischa, bahkan menjadi anggota regu inti pun dia tidak diberi kesempatan.
            “Teman-teman kamu sudah berlatih sebagai anggota dari dulu, mereka sudah pas, kalau kamu masuk sebagai anggota, bisa-bisa kamu bikin kacau, karena selama ini kamu berlatih sebagai ketua, bukan anggota.” Begitulah cara Pak Mul memberi Rana alasan yang sama sekali tidak bisa diterimanya.
            “Kalau memang begitu, kenapa bapak bisa memilih Sischa untuk menjadi ketua, dia bahkan sama sekali belum pernah dilatih sebagai ketua, sementara saya sudah berbulan-bulan berlatih!” Rana tetap tidak terima.
            “Rana, dia pintar, jadi bapak yakin dia bisa.” Lalu pria muda itu menutup pintu kantor untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Rana.
            Dia pintar, Rana. Kata-kata Pak Mul seperti kaset yang diputar berulang-ulang di kepalanya. Emang aku goblok?! Rana tidak terima. Dia menendang pohon besar yang tidak bersalah itu lebih keras.
            “Wah kali ini pake pink lagi ya?”
            Suara itu menghentikan Rana seketika dari kesibukannya menendang makhluk yang tak bersalah itu. Kepala Julian menyembul dari balik pohon. Ternyata dari tadi dia duduk di bawah pohon itu, tapi karena pohon itu besar dan Rana berada di sisi lainnya, dia tidak melihat Julian disana.
            “Kamu ngintipin celana aku lagi ya!” Rana tambah murka.
            “Ngintipin? Kan kamu yang ngasih liat ke aku. Makanya kalo jadi cewek tu ati-ati kalo lagi pake rok, jangan asal kayak kamu!”
            Rana memegangi roknya. Sok nasehatin banget sih ni anak! Rana lalu menyandar di pohon besar itu, menghindari tatapan Julian yang masih saja duduk berselonjor di sisi lain pohon itu.
            “Aku benci rok!” sembur Rana.
            “Yah, anak cewek kok benci rok! Sebenarnya siapa sih yang mau kamu tendang? Kenapa bukan orangnya langsung? Emang kamu marah sama pohon ini?”
            “Bukan urusan kamu!” Rasa sebal Rana jadi beralih dari Pak Mul kepada Julian. Sok akrab banget sih ni anak!
            “Aku tau bukan urusanku, tapi kamu tu dah ganggu ketenanganku. Aku ni lagi baca, gara-gara kamu ribut nendangin pohon aku jadi keganggu tau!”
            Hhuuuuh ni anak nyebelin banget yak.
            “Emang kamu liat ada pohon lain lagi disini?” Rana tak mau kalah.
            Julian diam sejenak.
            “Ok. Kamu boleh nendang pohon ni. Tapi rasanya lebih baik kalau kamu cerita aja ke aku apa yang bikin kamu marah. Daripada kamu nendang-nendang ni pohon, mana bikin kepala aku pusing, ditambah lagi tontonan gak menarik liat celana dalam kamu yang pink melulu itu!”
            “Siapa suruh kamu liat!” Amarah Rana mulai reda.
            “Hehehehe ‘gak tau, celana dalam kamu ada magnetnya kali!”
            Asal! Tapi Rana tersenyum juga.
            “Pak Mul...” ujar Rana.
            “Ha..?” Julian bingung.
            “Aku marah sama Pak Mul. Dulu aku ketua regu inti, sekarang seenaknya aja dia ngeganti posisi aku sama si Sischa, padahal dia sama sekali bukan anggota regu inti, waktu aku minta diberi posisi sebagai anggota, Pak Mul juga ‘gak bersedia. Huuuf...padahal aku udah berlatih selama berbulan-bulan, sekarang semuanya sia-sia...”
            “Lho, emang kamu ketua regu putri?” Tersengar suara resleting, sepertinya Julian menyimpan bukunya ke dalam tas.
            “Kamu punya mata ‘gak sih! Waktu kamu pertama kali dipanggil sebagai anggota regu inti kan ada aku, yang nyiapin regu putri kan aku, masak kamu ‘gak liat!” Gimana si ni anak!
            “Yaaah maaf de kalo aku ‘gak tau, kalo yang cantik kayak Sischa aku gak tau, baru ‘gak apa-apa kamu heran...” Nada suaranya tanpa rasa bersalah.
            Jadi lo sekarang bilang gue jelek. Gue tonjok baru tau rasa lo!
            “Tapi...” Julian cepat-cepat memperbaiki, seakan tahu tangan Rana sudah mengepal hendak meninjunya. “...sekarang aku kan udah tau kamu, si Pinkie, hehehehe...”
            Seneng lo ya? Gara-gara lo gue sekarang jadi dijulukin preman pink, tau! Darah Rana sedang melaju ke ubun-ubun saat Julian melanjutkan ocehannya dengan kata-kata yang membuat Rana agak tenang.
            “Aku yakin dengan kamu sebagai ketua regu putri tahun ini kita bisa mempertahankan piala bergilir itu, tapi kalo Sischa yang jadi ketuanya....” Julian berdiri dan menghampiri Rana, mengulurkan tangannya untuk membantu Rana berdiri dari duduknya. “Aku ‘gak yakin mereka bisa menang tanpa kamu. Pak Mul sudah memutuskan menerima resiko apa pun dengan mengambil Sischa sebagai ketua, biar dia menerima ganjaran dari tindakannya.” Rana menerima uluran tangan Julian dan berdiri. “Tapi aku akan usahakan kami tim putra menang, dan kemenangan itu buat kamu!” Duuuuh...ni cowok baeeek bangeeet!
            “Jadi kamu ‘gak perlu nendang-nendang pohon lagi, ganggu aku lagi baca aja!!!” Lalu dia berlalu meninggalkan Rana yang terbengong mendengar perkataannya.
            Dasar!!!
            Bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Rana kembali menuju kelas. Julian berjalan dua meter di depannya. Sesampainya mereka di depan kelas 6A terjadi keributan. Iwan berteriak-teriak sambil mengacungkan sebuah buku berwarna biru, rupanya sebuah diary. Sischa mengejarnya sambil menangis. “Yaaan, si Sischa naksir kamu! Nih baca!” katanya sambil menyodorkan diary itu ke tangan Julian. Julian menerimanya. Tak kuat menahan malu, Sischa berlari masuk kelas, suara tangisnya bertambah keras. Julian bukannya membuka diary itu, tapi malah menghampiri Sischa dan mengembalikan diary itu. Lalu duduk di kursinya seperti tidak terjadi apa-apa.
            Rana terdiam. Entah apa yang dirasakannya setelah semua yang dilewatinya hari ini. Dia bingung.

************

            Pagi ini anak-anak regu inti berangkat ke Bumi Perkemahan untuk mengikuti Jambore Kota. Rana sempat melihat onggokan tas mereka sewaktu melewati gerbang. Dia buru-buru melewatinya, hatinya masih perih. Rana tidak menyadari ada sesosok anak laki-laki jangkung yang tengah memperhatikan langkah lesu Rana yang tergesa-gesa menghindari tempat itu.

************

            Bel pertanda jam istirahat berbunyi. Aaah akhirnya, lepas juga dari ocehan Bu Zahra. Guru berbibir tipis itu mengomelinya sambil memintanya mengerjakan PR yang lupa dikerjakannya di depan kelas. Sepertinya masalah Jambore itu terlalu menyita perhatiannya, sampai-sampai dia lupa mengerjakan tugas bahasa inggris. Rana menyeret kakinya menuju kantin. Oka sialan! Aku lagi sedih gini dia malah main kabur sendiri aja ke kantin, busung lapar kali tu anak.
            “Pssst...pssst...Rana.....oi!”
            Rana menoleh. Ternyata Ari yang memanggilnya dengan suara sayup-sayup sampai itu. Dia menggerak-gerakkan tangannya memanggil Rana agar mendekat, sambil satu tangan mengarahkan jari telunjuk ke bibirnya. Apaan sih!
            “Apa-apaan kamu ‘gitu Ri? Biasa ja napa!” Rana tersenyum melihat tingkahnya yang aneh.
            “Pssst...pssst...diam. Kalo ‘gak diem ‘gak aku kasih nih” ujarnya sambil melihat kiri kanan.
            “Kasih apa?” Rana makin penasaran.
            “Tuh kan suara kamu!!! Sini, mumpung di kelas ‘gak ada orang.” Ari menarik tangan Rana. “Tadi sebelum berangkat, si Julian nitip ini ke aku, katanya kasih ke kamu, tapi ‘gak boleh ada yang tau.” Ari menyodorkan sebuah kertas HVS yang dilipat sebesar kartu remi. Rana sedikit bengong, tapi tetap tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya.
Jantungnya berdebar tak karuan. Apa ya kira-kira? Tak sabar ingin membukanya, Rana mengurungkan niatnya untuk ke kantin tapi malah melangkahkan kakinya ke kelas. Rana menarik nafas sebelum membuka lipatan itu. Berbagai dugaan melintas di pikirannya. Tapi apa yang di dapatinya di atas kertas itu meruntuhkan segala dugaan, dan akhirnya membuat bibirnya monyong! Sebuah gambar ilustrasi Rana sedang memonyongkan bibir, dan dengan tulisan sangat indah tertera kata-kata yang sangat tidak indah di bawahnya: Kamu kalo monyong jelek banget de! Kayak teko! Huahahahaha.
            Tangan Rana reflek meremas kertas itu sampai hancur. Kamu lihat pembalasanku kalau kamu pulang!

************

            Regu inti telah kembali. Rana belum tahu mereka menang atau tidak. Pada upacara bendera pagi itu, regu inti diminta berdiri pada barisan tersendiri, bukan di kelas masing-masing. Pada saat Kepala Sekolah berpidato, wanita paruh baya itu meminta kedua regu untuk mengambil tempat di tengah lapangan. Beliau mengumumkan keberhasilan regu putra dalam mempertahankan piala bergilir. Dilakukan seremoni penyerahan piala dari ketua regu kepada KepSek, lalu setiap anggota regu putra mendapat salam plus senyum hangat beliau.
            Beliau kemudian kembali ke podium dan mengumumkan bahwa tahun ini regu putri hanya berhasil meraih peringkat tiga, beliau sejenak mengalihkan pandangannya ke arah Pak Mul yang tidak berani mengangkat kepalanya, seolah-olah sepatu kulitnya itu sangat menarik untuk dilihat. Beliau mengungkapkan betapa besar harapannya tahun depan regu putri dapat merebut kembali piala bergilir itu, dan beliau memotivasi siswa kelas empat dan lima agar berlatih pramuka lebih giat, supaya bisa menjadi calon anggota inti yang baik.
            Sewaktu upacara berakhir dan Rana beringsut menuju kelasnya, dia berpapasan dengan Pak Mul. Rana melemparkan senyum ‘gue bilang juga apa’ kepada Pak Mul yang tak sanggup berkata apa-apa. Cepat-cepat diucapkannya, “Selamaaaat ya Paaaak...” Ternyata Tuhan sayang ‘ma gue!
            Saat melewati pintu kelas 6A, tiba-tiba sesosok anak laki-laki jangkung menyalip langkahnya. “Oi!” Senyum Julian lebar sekali.
            “Apa-apaan kamu! Aku hampir jatuh, tau!” Bibir Rana monyong.
            “Hehehe...aku bilang juga apa, aku pasti menang kan?”
            Sombong banget sih ni anak!
            “Kamu? Yang jelas sih itu kemenangan regu, bukan KAMU!” Rana mendorong tubuh Julian agar tidak menghalangi jalannya, tapi Julian bertahan.
            “Iya...iya..REGU! Tapi sudah pasti disitu ada sumbangan dari kepintaran otakku! Yang jelas, kamu ‘gak boleh lagi gangguin aku baca!” Senyum Julian berubah menjadi senyum penuh kemenangan.
            “Ih siapa yang minat ganggu kamu, aku aja ogah deket-deket kamu, jangan GR deh. O ya, nih!” Rana mendaratkan kepalan tangannya di perut Julian. Julian meringis. “Ini sebagai hadiah karena dah bilang aku jelek! Kayak kamu yang cakep aja!!!” Rana buru-buru kabur mumpung Julian sedang memegangi perutnya.
            “Yang pasti anak-anak perempuan suka aku, kalo kamu ‘gak suka, mungkin gara-gara kamu bukan perempuan!” Julian meneriakkan kalimat itu sambil tertawa, tapi buru-buru masuk ke kelasnya ketika menyadari Rana yang wajahnya merah mengejarnya seperti banteng.

************

            Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa Rana sekarang berada di lapangan lagi, menunggu dengan harap-harap cemas namanya akan dipanggil sebagai peringkat pertama. Saat Bu Maria menyebutkan nama-nama peringkat kelas lima, pikiran Rana melayang mengenang lagi kejadian-kejadian di Cawu ini. Julian tak henti-hentinya mengusili Rana sejak kepulangannya dari Jambore. Tapi kenapa hanya aku yang diusilinya?. Julian tetap bersikap baik kepada Sischa, atau Vera yang berkulit putih bersih, apalagi kepada Zaskia yang pintar menyanyi dan bertubuh jangkung. Bibir Rana monyong. Dasar Julian jelek!
            “Kelas 6A!” Suara nyaring Bu Maria membawanya kembali ke alam nyata.
            “Peringkat ke tiga, Ari Perdana Kusuma!”
            HAH? Yang bener aja! Si Ari? ‘Gak salah tuh! Seumur-umur baru kali ini si Ari peringkat, sepuluh besar aja ‘lom pernah!
            Ternyata anak-anak kelas 6 yang lain sama terkejutnya dengan Rana. Memang sangat mengherankan Ari bisa meraih peringkat. Anak itu tertunduk malu ketika berjalan ke depan, bahkan kepalanya masih dalam posisi yang sama sampai bubar.
            “Peringkat kedua, Sischa Sekar Ningsih!” Sischa maju dengan senyum penuh kepuasan.
            “Peringkat pertama, Julian Angkoro!” Julian maju, entah salah lihat atau bagaimana, tapi Rana yakin dagu Julian sedikit ke atas ketika dia berjalan ke depan. Huh sok sekali! Liat ‘tar, kalo aku  juara, kamu bakal bungkam!
            “Selanjutnya, kelas 6B.”
            Dag...dig...dug. Rana menggigit bibir bawahnya.
            “Peringkat ketiga, Herman Septa!” Herman tersenyum lebar sekali, sampai-sampai rasanya muat dimasuki pisang dengan posisi menyamping!
            “Peringkat kedua, Rana Dzakiya!” Rana tertegun. Ya Allah, akhirnya... Ayu sepertinya shock sekali posisinya Cawu lalu direbut Rana, sampai-sampai tidak menyadari mulutnya ternganga lebar sekali. Sesampainya di depan Rana melirik ke arah Julian, bersiap-siap melemparkan senyum penuh kemenangan seandainya Julian melihat ke arahnya. Tapi Rana harus kecewa karena Julian sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan seperti tidak menyadari kehadiran Rana di barisan depan. Sialan! Tunggu setelah ini ya! Bibir Rana monyong, betul-betul kebiasaan buruk.
            “Wah Rana nyingkirin Ayu, hebat ya!” Rini menyodorkan tangannya tanda selamat lalu berdiri di depan Rana. Lagi-lagi dia juara satu. Setelah penyerahan hadiah kepada semua peringkat, murid-murid beranjak ke kelas masing-masing untuk penyerahan rapor. Rana melihat Julian beberapa langkah di depannya, buru-buru ditariknya bahu anak jangkung itu.
            “Mata kamu ‘dah kebuka sekarang kan!” Rana melotot.
            “Dari tadi emang mataku kebuka kok!” Julian balas melotot.
            “Maksudku sekarang kamu sadar kan, kalo yang pinter tu bukan cuma kamu aja!”
            “Ooo...kamu juga mau bilang kamu juga pinter? Ok, juara berapa?”
            “Dua!!!” Rana tersenyum puas.
            “Aku juara satu, walopun kamu pinter, aku lebih pinter....” Mata Julian mengarah ke atas, seperti sedang berpikir. “Iya ya, Kalo kamu yang juara dua pinter, brarti aku yang juara satu jenius dong, huahahaha, ya begitu!!!” Dengan wajah puas dia berlalu meninggalkan Rana yang semakin sewot.
            Dasar monyet gedongan sialaaaaaaaaaan....! Liat aja, Cawu depan aku pasti juara satu!

************

            Satu bulan sudah Cawu dua berjalan, tak sekali pun Rana berbicara dengan Julian, walaupun kadang mereka berselisih jalan, Rana akan buru-buru menghindar atau kalau tidak bisa, dia akan memalingkan wajahnya. Rana masih sewot. Menurutnya akan membuatnya tambah jengkel jika bertegur sapa atau berbaik-baik dengan anak yang makin banyak penggemarnya itu.
            Rana memang tidak banyak tahu mengenai Julian. Dia juga tidak mengetahui bahwa hampir setengah murid perempuan kelas 6 yang menaruh hati padanya. Separuh yang tidak paling-paling adalah anak yang perkembangan mentalnya belum memasuki masa puber, atau belum merasakan ketertarikan kepada lawan jenis.
            Julian sebenarnya mulai merasa jengah dengan segala perhatian, tatapan, atau pun senyuman yang didapatnya dari anak-anak perempuan yang mengaguminya. Hanya Rana yang memperlakukannya beda, bukan perlakuan yang biasa-biasa saja, tetapi seperti tidak menyadari segala kelebihan Julian. Anak yang digolongkan ‘belum puber’ pun pasti mengagumi segala kelebihan yang dimiliki Julian. Julian merasa mata Rana tertutup akan siapa Julian di mata teman-temannya. Julian yang tampan, bertubuh tinggi dan berkulit putih bersih. Julian yang pintar. Julian yang anak pengacara terkenal. Saat menyadari ini, Julian mulai merasakan ada rasa penasaran yang aneh yang membuatnya ingin mengenal Rana lebih dekat. Tapi sepertinya agak susah karena Rana membencinya, sekarang malah tak mau berbicara dengannya, melihat pun tak sudi.
            Siang ini, Pak Mul yang guru olahraga itu memanggil beberapa anak untuk berkumpul di lapangan. Di tangannya sudah tergenggam sebuah stopwatch. Beliau mengumumkan akan diadakan perlombaan marathon antar pelajar se-kota Padang, jadi beliau akan menyeleksi kami, dan hanya akan mengirim 3 orang murid putra dan putri. Rana melihat Julian ikut serta, segera dia mengambil jarak. Julian yang menyadari kehadiran Rana tak henti-hentinya melirik anak tomboy itu.
            Pak Mul membunyikan peluitnya, tanda semua diperintahkan untuk berlari mengelilingi lapangan upacara yang sekaligus lapangan bola itu. Beliau sama sekali tidak membatasi jumlah putaran karena ingin melihat ketahanan murid-muridnya dalam berlari sekaligus untuk melihat kecepatan mereka. Julian berusaha untuk berlari sedekat mungkin dengan Rana, tapi Rana justru sebaliknya. Karena Julian tetap bersikukuh ingin berlari di samping Rana, akhirnya anak itu memutuskan untuk mendahuluinya. Rana mempercepat larinya. Julian mengikuti.
            Pada saat putaran kedua, beberapa anak berhenti dan dianggap gagal. Di putaran ke empat hanya lima anak yang bertahan. Jantung Rana mulai berontak, tapi dia pantang terlihat lemah di depan Julian si anak segala sok itu. Lia, satu-satunya anak perempuan yang bertahan selain Rana, akhirnya berhenti dan segera merebahkan badannya di atas rumput hijau itu. Dada Rana panas. Dia tak tahan lagi. Akhirnya menyerah dan berhenti, lalu mengikuti Lia rebahan di atas rumput. Nafasnya tak beraturan. Sepuluh menit kemudian sebuah wajah yang sangat dimusuhinya menghalangi pandangannya dari langit.
            “Kamu baik-baik aja kan?” Julian bertanya dengan nafas yang sama tak beraturannya.
            “Bukan urusan kamu!” Rana segera berdiri dan menjauhinya. Untung Julian tidak mengikutinya tapi malah tiduran di rumput mengambil posisi yang ditinggalkan Rana.
            Peluit Pak Mul berbunyi sepuluh menit kemudian, meminta semua untuk berkumpul lagi. “Baik, setelah bapak lihat, bapak meutuskan untuk mengikutsertakan Lia, Rana, dan Suci. Dan untuk putra, Iwan, Julian, dan Rio. Perlobaannya dua minggu lagi, jaga kesehatan kalian, jangan lupa pakai baju seragam olah raga sekolah. Baik, semua boleh bubar!
            Bibir Rana memperlihatkan kebiasaan buruknya lagi. Kenapa dia harus ikut segala! Mending aku ‘gak ikut kalo gini. Huh! Julian yang memperhatikannya dari jauh tersenyum senang. Seolah-olah melihat Rana memonyongkan bibirnya lebih menyenangkan ketimbang menatap wajah indah Sischa.

************

            Rana, Lia, dan Suci terjepit di antara anak-anak SMA yang kebanyakan laki-laki. Lia yang bersikukuh untuk mengambil posisi di depan tidak mau mengerti ketika Rana memintanya untuk start dari tengah saja. Tubuh mereka yang kalah besar, membuat mereka kesulitan bergerak. Tiba-tiba terdengar suara letusan, dan tubuh-tubuh raksasa itu mulai bergerak. Rana terdorong dan jatuh. Dia tidak bisa berdiri. Celana olahraganya yang hanya selutut membuat lututnya menyentuh aspal yang kasar. Rana mengerahkan segala kekuatannya untuk kembali berdiri diantara tubuh-tubuh yang berebut berlari. Aaaaaa. Lututnya sakit sekali tapi dia tetap tidak bisa mengangkatnya, beberapa orang menginjak kakinya. Sungguh sakit sekali, Rana berteriak-teriak, tapi suaranya hilang ditelan bising yang ditimbulkan suara sepatu-sepatu yang menghentak aspal. Cukup lama hingga akhirnya dia berhasil berdiri dan mulai berlari walau terseok-seok.
            Rana tidak melihat Suci dan Lia. Dia berhenti sejenak dan memperhatikan sekeliling. Dilihatnya Lia sedang berselonjor di trotoar sambil menangis. Lututnya mengalami nasib yang sama dengan Rana.
            “Kamu ‘gak apa-apa Lia? Mana Suci?”
            “Huuu...huuuu...aku ‘gak tau.. Naa..sakiiiit...” Lia menghapus airmatanya.
            “Udah jangan nangis ya. Ayo, kita mulai lari.” Rana menarik tangan Lia untuk berdiri. “Makanya, kalo lain kali aku bilangin kamu nurut donk!”
            “Iyaaa...maaaaf...”
            Mereka memulai perjalanan mereka dengan berjalan. Jalan raya itu sudah lengang, mereka baru berada 50 meter di depan garis start, semua sudah berada di depan. Perlahan-lahan akhirnya mereka kuat untuk berlari.
            Ketika mencapai pertengahan rute perlombaan, mereka menemukan tempat panitia memberikan minuman kepada para peserta. Tapi sayang sekali, minumannya tak lagi bersisa. Akhirnya mereka melanjutkan lagi marathon mereka dengan tampang lebih lesu dari sebelumnya.
            “Na, aku haus, ‘gak kuat lagi, mau minum, beli minum aja yuk!” Lia terlihat begitu lelah.
            “’Gak bisa Ya, kamu lupa kalo semua uang dan perhiasaan kita dah kita titip tadi sama Pak Mul, mau beli minum sama apa!”
            “Hauuuuus...” Lia seperti mau menangis lagi.
            “Rana!” Julian menepuk-nepukkan tangannya memberikan isyarat kepada Rana. Dia tengah duduk di sebuah halte bis. Karena Rana tak mau mendekat akhirnya Julian yang berlari ke arahnya. “Kamu pasti haus kan, nih aku punya air mineral.” Julian lalu menyodorkan sebotol air mineral yang langsung direbut Lia.
            “Waah, makasih banyak Yan, aku emang haus banget!” Kening Julian agak berkerut melihat kelakuan Lia.
            “Minumnya sambil jalan aja Ya!” Rana menarik tangannya.
            “Nih Na, minum!” Agak ragu Rana mengambil botol dalam genggaman Lia. Tapi rasa haus memaksannya.
            “Dapet minum dari mana kamu, uang kita kan dah dititip Pak Mul semua!” Rana bertanya kepada Julian. Tapi yang ditanya malah senyum. Ih, ni anak nebar-nebar senyum, ‘gak laku!
            “Akhirnya kamu mau ngomong ama aku ya! ‘Gak semua uangku aku titip ke Pak Mul. Kalo aku titip semua pasti sekarang kamu ‘gak bisa minum kan?”
            “Ooo...jadi kamu mau bilang kamu dah berjasa, nih aku balikin, MAKASIH! Tar aku bayar!”
“Aku bu...”
“Na, kita jalan aja ya sampai finish, kan ‘gak mungkin menang juga...” Lia memotong entah apa yang akan dikatakan Julian. Dan akhirnya mareka berjalan dalam diam, hanya Lia yang terus bercerocos mengomentari pertandingan yang dianggapnya tidak adil karena memperlombakan siswa SD, SMP, dan SMA secara bersamaan.
Setelah mereka berkumpul dan bertemu dengan Pak Mul, Rana duduk di trotoar dan memeriksa lukanya. Secara tak diduga, Julian juga ikut-ikutan duduk di sebelahnya dan menyodorkan botol air itu lagi.         
“Sebaiknya kamu cuci, daripada nanti infeksi.”
Walaupun sewot, tapi Rana tetap mengambilnya. “Nanti aku bayar.” Ujarnya singkat. Tapi Julian malah berdiri dan pergi.

************

            Entah apa yang membuat Rana begitu membenci Julian. Apa karena Julian begitu sombong dengan segala yang dimilikinya; kekayaan, kepintaran, dan kesempurnaan fisik yang mempesona? Apa hanya itu penyebabnya? Apa benar hanya itu yang membuatnya ingin mematahkan segala kesombongan Julian?
Rana mungkin tidak mengerti apa yang ada di hati dan pikirannya saat ini. Mungkinkah ada penyebab lain? Apa rasa sakit hati yang dirasakannya ketika Julian tidak memperhatikannya seperti dia memperhatikan kepintaran Sischa? Aku juga pintar, itu bisa aku buktikan! Kata hati Rana berontak.
            Atau mungkin rasa sebal yang melandanya ketika Julian memuji-muji kecantikan Vera? Aku juga cantik, hanya saja kulitku ‘gak putih kayak kulit Vera! Atau kekesalannya yang memuncak ketika Julian mengusilinya habis-habisan, hanya dia, bukan Sischa, Vera, ataupun anak-anak perempuan lainnya. Kenapa Julian harus mengusili dirinya seorang sementara dia bisa bersikap baik terhadap anak perempuan yang lain. Yah, paling ‘gak akhir-akhir ini dia ‘gak ngusilin aku gila-gilaan kayak dulu lagi.
            Pernah Julian menyembunyikan tas Rana, hingga pada saat Rana tidak bisa mengumpulkan tugas matematikanya, Bu Maria marah besar.
            “Jangan mencari-cari alasan Rana! Kalau kamu tidak membuat, jujur saja!” Bu Maria mengacung-acungkan sepatunya tepat di depan kening Rana.
            “Tapi Bu, tas saya benar-benar hilang, saya sudah membuat PR Bu, tapi...”
            Bu Maria tetap tidak terima, lalu menghukum Rana. Rana harus mengerjakan ulang PRnya sambil berdiri di depan kelas, setelah selesai dia harus membersihkan koridor di depan kelasnya. Saat Rana tengah menyapu koridor dengan bibir yang benar-benar monyong sempurna, Julian keluar dari pintu kelasnya. Julian sedikit tersentak melihat Rana menyapu koridor di tengah-tengah jam pelajaran.
            “Ngapain kamu nyapu teras sekarang? Kalo piket harusnya dari tadi pagi dong”
            Rana yang belum tahu bahwa Julian lah yang menyembunyikan tasnya menjawab tanpa rasa curiga. “Aku dihukum Bu Maria gara-gara ‘gak bisa ngumpulin tugas. Tadi habis jam istirahat tasku hilang, ‘gak tau siapa yang nyembunyiin, anak-anak di kelas ‘gak da yang ngaku. Yah jadinya gini de, dihukum!”
            Tanpa diduga Julian malah tersenyum, justru terlihat seperti menahan tawanya. “Selamat menyapu deh. Yang bersih ya mbok!” Dia lalu berlalu menuju toilet anak laki-laki. Setelah beberapa langkah, barulah tawa Julian meledak. Rana curiga. “Juliaaaan sialaaaan...kamu yang nyembunyiin tasku ya!” Rana sedang bersiap-siap dalam posisi akan melemparkan sapu yang ada di tangannya ke kepala Julian saat suara menggelegar Bu Maria menghentikannya.
            “Ngapain kamu teriak-teriak di luar, kalau sudah selesai cepat masuk, jangan main-main!”
            Peristiwa di atas hanyalah salah satu dari segala keusilan Julian yang betul-betul menyusahkan Rana. Tapi ada angin sejuk yang berhembus di hatinya ketika dia berhasil merebut peringkat satu Cawu ini dari tangan Rini. Sekarang Julian tidak akan bisa melancarkan jurus ‘aku pintar’ nya kepada Rana. Namun reaksi Julian terhadap keberhasilannya sangat mengecewakan Rana. Julian malah memberinya selamat dan ikut berbahagia atas prestasi Rana. Kok dia ‘gak sebel ya? Kok dia ‘gak ngolok-ngolok aku lagi? Olok aku dong, biar aku semprot sekalian!
            “Jadi, sekarang aku jenius kan?” Rana berusaha menyindir Julian.
            “Jenius?” Julian heran.
            “Kamu lupa sama apa yang kamu bilang Cawu lalu? Kalau aku yang juara dua pinter, berarti kamu yang juara satu jenius! Nah, berarti aku sekarang juga jenius dong!”
            “Ya, kamu memang jenius. Tanpa dibuktikan dengan cara ini pun aku dah tau kamu jenius, dulu kamu hanya belum cukup berusaha. Jadi jaga terus ya, biar lulus dengan NEM yang bagus!” Julian mengacak-acak poni Rana dengan telapak tangannya dan berlalu sambil tersenyum.
            Apa-apaan tu! Pake ngelus-ngelus kepalaku segala. Kenapa si Julian? Akhir-akhir ini berubah banget. Huh, jangan pikir kalau kamu baik-baikin aku, aku bakalan nyerah gitu aja, kamu tetap orang yang aku benci! Rana lalu mengelap poninya dengan sapu tangan, seolah-olah poninya terkena kotoran dan harus segera dibersihkan. Julian yang memperhatikannya dari kejauhan hanya bisa menghela nafas panjang.

************

            Memasuki Cawu ke tiga, murid-murid kelas enam mulai sibuk menghadapi Ebtanas. Sekolah memberlakukan jam tambahan pada mata pelajaran yang akan diujikan pada ujian kelulusan itu. Tak ada lagi perlombaan atau kegiatan yang boleh mereka ikuti.
            Julian mulai sangat berubah dan teman-temannya menyadari ini. Julian tidak akan mau pulang jika belum melihat Rana menyeberangi jalan di depan sekolah, padahal biasanya dia akan langsung masuk mobil dan segera pulang. Namun teman-temannya tidak mengetahui bahwa Rana lah yang membuat Julian menunda pulang, anak itu selalu punya alasan bagus untuk diberikan kepada teman-temannya.
Termasuk ketika dia tidak lagi diantar-jemput supir ke sekolah pada jam tambahan. Sekarang dia lebih menyukai mengendarai sepeda. Rumahnya memang tidak begitu jauh dari sekolah. Entah alasan apa yang dipakainya, sehingga ayahnya bisa dengan mudah mengijinkannya pergi dengan sepeda. Jeda waktu antara jam pulang dan jam pelajaran tambahan dimulai adalah dua jam. Julian akan pulang dengan supir dan kembali lagi dengan sepeda barunya. Tetapi kenapa Julian selalu datang dari arah rumah Rana, tak ada yang menyadarinya.
Seandainya Rana tahu apa yang Julian lakukan selama beberapa hari ini, mungkin dia akan murka. Beberapa hari belakangan, Julian menunggu Rana keluar rumah di pohon besar yang tumbuh di dekat rumah Rana. Dia akan memperhatikan langkah sosok tomboy itu menuju sekolah, dan mengikutinya dalam jarak yang membuat Rana tidak menyadari keberadaannya.
Namun hari ini Rana betul-betul murka. Julian melihat beberapa ekor anjing liar berkerumun di tempat sampah yang ada di pinggir jalan, dan Rana pasti melewati jalan itu. Khawatir anjing-anjing itu akan mengganggu Rana, Julian mengikutinya dengan jarak yang lumayan dekat. Awalnya Rana bersikap biasa saja. Tapi begitu menyadari sepeda yang dari tadi ada di belakangnya belum juga memotong jalannya, Rana menoleh ke belakang, dan begitu marah menyadari Julian mengikutinya.
“Apa-apaan kamu ngikutin aku!”
“Aku cuma mau mastiin kamu aman aja kok!”
“Aman kamu bilang! Aku akan lebih aman kalo ‘gak ada kamu. Kamu ‘gak nyadar apa, selama ini kamu yang bikin aku ‘gak aman sama keusilan kamu yang gila-gilaan itu! Jadi kamu udah tau rumah aku?”
“Udah...”
“Buat apa? Mau ngusilin rumah aku? Atau skalian keluarga aku? ‘Gak cukup kamu cuma ngusilin aku, belum puas? Dasar gila!” Rana betul-betul marah, lalu berlari menjauhi Julian. Julian yang khawatir anjing-anjing itu akan mengejar Rana lalu mengekor dari belakang. Hal ini membuar Rana tambah gusar dan tidak memperhatikan langkahnya. Rana terjatuh dan kakinya berdarah. Julian segera turun dari sepedanya dan menghampiri Rana.
“Kamu ‘gak apa-apa kan?”
“Cukup Julian, cukup!” Tak tertahankan, akhirnya airmata Rana jatuh. Bukan karena rasa perih di kakinya, tapi terlebih karena sakit di hatinya. “Cukup kamu bikin aku susah. Liat ni, ini gara-gara kamu!” Rana menunjuk kakinya yang berdarah. “Mulai sekarang aku ‘gak mau lagi liat kamu dekat-dekat aku, aku ‘gak mau lagi ngomong sama kamu, cukup yang aku rasain selama ini, apa salah aku sama kamu? Sebelum aku kenal kamu sekolah rasanya lebih menyenangkan! Sejak ada kamu jadi ‘gak lagi! Pergi!” Rana kembali berdiri dan berlari menjauhi Julian yang berdiri mematung.

************

            Sebulan berlalu, dan Julian menuruti permintaan Rana. Rana merasa ada beban yang diangkat dari hatinya, sampai pada saat ada kabar yang entah kenapa membuatnya merasakan sesuatu yang tidak bisa dimengertinya. Oka memberitahunya kalau Julian dan Sischa sekarang ‘berpacaran’. Setiap hari Sischa datang ke sekolah bersama Julian, begitu juga ketika pulang.
            Entah kenapa hal ini membuatnya sedikit ‘panas’. Apalagi ketika tahu hampir semua anak kelas enam mengetahui hal ini pada saat Rana justru baru mendapatkan kabarnya. Rana memang tidak pernah memperhatikan apa yang dilakukan Julian, terlebih semenjak insiden terakhir itu.

************
           
            Duduk Rana tidak tenang. Dia jengah. Dari tadi, sudah puluhan kali mata Julian menatapnya. Alhasil, roknya jadi lecek gara-gara diplintir Rana yang mencoba mengalihkan matanya dari tatapan tajam Julian. Tak ada yang menyadari mata Julian yang terus menatap Rana, atau tingkah Rana yang resah. Semua sibuk mendengarkan cerita mama Julian tentang kronologis kejadian kenapa Julian sekarang dirawat inap di rumah sakit. Sischa juga tak sempat memperhatikan mata Julian yang tak henti menatap Rana, dia tengah menyuguhkan buah-buahan yang ada di lemari es kamar VIP itu kepada semua teman-teman yang datang.
            “Makasih ya sayang,” ujar mama Julian sambil tersenyum kepada Sischa.
            “Sama-sama tante,” Sischa balas tersenyum.
            “Sischa ini sudah sebulan tinggal di rumah tante, papanya kebetulan lagi ada urusan ke luar negeri lagi, jadi dititip di rumah tante, keluarga kita emang udah kenal dekat. Tante sih senang aja, serasa punya anak perempuan, Julian jadi kayak punya adik.” Wanita itu kemudian mulai menceritakan segala kelebihan Sischa yang sangat disukainya, Rana sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan. Huuff...kapan selesainya nih! Kalo aja Bu Maria dan Pak Saiful yang dapat giliran ngajar pelajaran tambahan hari ini ‘gak maksa seluruh murid untuk ngejenguk Julian, aku ‘gak akan perlu ketemu si jelek itu, mana ngebosin banget pula!
            “Oi, ngelamun aja! Yuk, diri donk!” Oka menarik tangan Rana sampai berdiri. “Semua dah pada ngantri salaman tuh.”
            Makasih ya Allah, berakhir juga penderitaanku. Eits, tunggu dulu. Apa aku HARUS salaman sama si jelek itu? Huuuuh.....
            Rana yang terakhir bersalaman dengan Julian, teman-temannya langsung bergiliran menyalami mama Julian. Entah hanya perasaan Rana saja, atau memang Julian bersalaman dengan cara seperti itu, tapi rasanya Julian sedikit meremas tangan Rana ketika bersalaman, dan agak lama. Matanya lekat menatap Rana. Tak sepatah kata pun yang diucapkan Rana, senyum Julian pun tak dibalasnya.
            Rana tetap bungkam sampai di perjalanan pulang. Ada yang membuatnya tak mengerti. Tepat saat tangannya di genggaman Julian, hati dan otaknya bertempur. Kata hatinya memintanya untuk berkata cepat sembuh ya, sebentar lagi kan ujian. Tapi otaknya justru berontak dan berkata ngapain pake baek-baekin si jelek ini, dia dah banyak dosa sama aku, peduli amat dia mo sembuh apa gak!

************
           
            Ada yang mengejutkan Rana keesokan harinya. Julian kembali masuk sekolah. Padahal ketika dijenguk kemarin, kondisinya jelas sekali belum sehat. Kabar yang didengar Rana menyebutkan bahwa Julian memaksa ingin pulang dan sekolah, dan mamanya sama sekali tidak bisa membujuknya untuk tetap tinggal di rumah sakit.
Dan sekarang tangan Rana masih menggenggam kertas itu, kertas yang diberikan Ari kepadanya untuk dibaca diam-diam. Apa ini? Apa gambar aku monyong lagi ya? Dugaan Rana meleset, sama sekali tidak ada gambar di kertas itu. Kertas putih itu berisikan tulisan tangan yang rapi dan bersih. Lumayan panjang. Rana mulai membaca.
Hai Rana yang wajahnya kadang kayak teko! Sialan! Aku sengaja ngirim surat ini untuk kamu karna aku gak tau lagi gimana aku bisa ngomong sama kamu, kamu selalu menghindari aku sejak waktu itu. Aku gak tahan lagi menahan rahasia yang aku coba sembunyikan. Karena ini juga aku memaksa untuk keluar dari rumah sakit. Waktu kamu dan teman2 tadi mengunjungi aku, aku senang banget. Disitu juga aku sadar sama perasaan aku. Ternyata aku gak bisa kalo gak liat kamu sehari aja. He? Apaan ni! Waktu kamu pulang perasaanku gak enak, aku masih mau lihat wajah kamu, aku gak tau kenapa. Makanya, aku mutusin, besok aku harus sekolah! Waktu aku tanya sama oom aku, kayaknya ini yang dirasain orang yang jatuh cinta. Aku juga gak ngerti, yang jelas aku mau selalu deket kamu. Idih, aku sih ogah!
Makanya, kamu mau gak jadi pacar aku? HAAAA, PACAAAARR...??? GILA LO! Aku akan ngasih kamu waktu seminggu untuk mikirin ini. Seminggu? Sekarang juga aku bisa jawab, nggak! Berarti kamis depan aku akan nunggu jawaban kamu. Aku tunggu dipohon besar itu jam istirahat pertama, kamu harus datang, atau aku akan cari kamu kemana pun! Emang dasar gila, mau pinter ato kaya, tetep aja gila!
Rana kemudian meremas kertas itu dan membuangnya ke tong sampah, walau terlihat seperti sedang marah, tapi bibir Rana menyunggingkan sedikit senyuman. Julian memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.

************

            Dari pagi Rana sudah resah. Jam istirahat terasa begitu cepat menjelang. Sialan, cepat banget tu bel bunyi! Semua murid kelas 6B segera berlarian keluar kelas begitu bel istirahat berbunyi. Malas-malasan Rana berdiri, dia enggan menemui Julian di pohon itu. Ah, peduli apa. Mending aku jajan aja di kantin, tunggu deh ampe kiamat! Rana gontai menuju kantin dan menghabiskan jam istirahatnya disana. Ketika bel masuk kembali berbunyi, Rana telah benar-benar lupa bahwa Julian menunggunya di pohon besar itu.
            Jam terakhir ambil nilai kesenian, aku di kelas aja ah pas istirahat kedua nanti.
            “Kamu nanti nyanyi apa waktu ambil nilai” Rana menyikut lengan Oka yang telah duduk di sebelahnya.
            “Gugur bunga!” jawabnya mantap.
            “Sama! Kita latihan sama-sama waktu istirahat nanti ya.”
            “OK boss...”
            Begitulah, ketika waktu istirahat kedua tiba, mereka menghabiskan waktu berlatih bernyanyi di dalam kelas bersama bebera0pa teman sekelas lainnya. Namun, tiba-tiba ada yang menarik paksa tangan Rana. Julian! Wajahnya terlihat marah.
            “Eh, apa-apaan nih, sakit tau!” Rana meronta mencoba melepas genggaman tangan Julian. Tapi genggamannya begitu kuat. Lengan Rana perih.
            “Aku kan udah bilang, kalo kamu ‘gak datang, akan aku cari kemana pun!”
            Ya ampun! Surat yang waktu itu. Kok aku bisa lupa gini ya, padahal tadi emang sengaja ‘gak datang. Rana akhirnya berhenti meronta, kemudian berdiri dari bangkunya dan mengikuti Julian yang masih menggenggam erat tangannya.
            “Paling ‘gak lepasin tangan kamu donk!” Rana protes. Tapi Julian seperti tidak mendengar. Dia tak mau mempedulikan omelan Rana, hatinya panas. Julian menarik Rana hingga pohon besar itu. Genggaman tangannya baru dilepas ketika mereka benar-benar sampai di pohon yang sangat rindang itu.
            “Kenapa kamu ‘gak datang?” Wajah Julian merah.
            Ih, kenapa aku HARUS datang, aku bukan pembantu kamu yang harus datang kalau dipanggil dan nurut kalau disuruh.
            “Aku nunggu kamu disini sepanjang jam istirahat pertama tau!”
            “’Gak!” Rana pantang kalah.
            “Eh?” Alis Julian berkerut.
            “Kamu bilang, aku nunggu kamu tau, ‘gak, aku ‘gak tau, ‘gak peduli! Emang aku pembantu kamu yang harus nurut sama semua keinginan kamu!”
            Julian kesal, tapi dia mencoba meredam emosinya dengan menarik nafas panjang. Dia mencoba bersikap dewasa di hadapan gadis cilik yang menarik hatinya itu. Julian memang lebih tua dua tahun dibanding Rana. Akibat Ayahnya yang suka berpindah-pindah kota mengikuti kliennya, ditambah lagi badannya yang tak begitu sehat, Julian pernah kehilangan waktu dua tahun untuk melanjutkan sekolahnya. Seharusnya sekarang dia sudah menduduki bangku kelas dua SMP, tapi kenapa justru anak kecil ini yang menarik hatinya, Julian pun tak mengerti.
            “Baik, aku lupain yang tadi, yang penting sekarang kamu udah ada di hadapanku. Jadi jawaban kamu apa?”
            Rana terdiam. Rona wajahnya berubah.
            “Memangnya kalau pacaran tu kita ngapain?”
            Julian tertawa mendengar pertanyaan polos yang diajukan Rana. Wajar saja, dia baru kelas enam SD, dua belas tahun. Dibandingkan dengan Julian yang telah berusia empat belas tahun dan biasa bergaul dengan orang dewasa, Rana memang jauh lebih polos.
            “Hmmmm apa ya, banyak! Kita bisa ngobrol, bercanda, makan bareng, main, banyak lah!”
            “Emang harus pacaran biar bisa kayak gitu, ‘gak pacaran pun bisa kan?” Masih konsisten dengan kepolosannya. Julian kembali menarik nafas.
            “Pokoknya aku suka sama kamu, makanya kita harus pacaran. Kalo ada orang yang saling suka, mereka harus pacaran!” Mencoba sok dewasa, tapi perkataan Julian malah memperlihatkan bahwa dia sama sekali belum dewasa, hanya remaja yang mencoba bersikap dewasa.
            “Saling suka? Siapa yang suka sama kamu? Aku sih ogah! Kalau kamu suka sama aku sih terserah kamu, aku ‘gak peduli. Selama ini kamu kan jahatin aku mulu, suka apanya!” Rana melipat tangannya di depan dada. Hatinya panas mendengar perkataan Julian. Kita pacaran, trus Sischa itu apa kamu? Mau main-main sama aku, cobain dulu tinjuku ini!
“Aku suka kok sama kamu. Kamu bener ‘gak suka sama aku?”
“’Gak!” Rana membalikkan badan dan segera berlari meninggalkan Julian. Tapi tangan Julian sigap menangkap lengannya.
“Kamu bener-bener ‘gak mau jadi pacar aku? Asal kamu tau ya, hampir semua anak cewek di kelasku udah ngirim surat cinta, minta aku jadi pacar mereka, semua aku tolak! Tapi kamu...AKU yang minta KAMU jadi pacar aku, emang itu ‘gak ada artinya buat kamu?” Julian benar-benar tidak mengerti Rana, dan ini membuatnya tambah marah.
“Nah, lihat sendiri!” Rana menghentakkan lengannya hingga lepas dari genggaman Julian. Dia mengacungkan telunjuk kanannya tepat di depan wajah Julian. “Lihat kesombongan kamu yang menjulang menyaingi tingginya gunung! Selalu merasa lebih dari orang lain! Itu yang aku ‘gak suka dari kamu. Sekedar untuk kamu ketahui, di mataku kamu bukan anak laki-laki paling cakep di sekolah ini, aku ‘gak peduli kamu kaya, dan AKU juga punya otak yang sepintar JULIAN, kalau kamu punya hal lain buat dibanggain di depan aku, baru kamu bisa jadi teman aku, TEMAN!”
Rana buru-buru berlari menuju kelasnya, meninggalkan Julian yang terdiam mendengarkan kata-kata Rana yang membuatnya begitu terkejut dan menusuk hatinya begitu dalam. Julian terbiasa disanjung. Tak pernah sekalipun dia dicela. Julian yang tampan mewarisi kecantikan yang dimiliki Ibunya. Julian yang pintar, selalu menduduki peringkat kelas, tanpa harus giat belajar. Julian yang kaya, apa pun permintaan Julian bisa dipenuhi Ayahnya. Kata-kata Rana barusan berbanding terbalik dengan apa yang selama ini didengarnya. Yang lebih menyakitkan, kata-kata itu keluar dari bibir gadis yang sangat disukainya.

************

Ebtanas pun tiba. Semua murid kelas enam hanyut dalam ketegangan ujian nasional itu. Tak ada lagi yang berlarian di lapangan saat jam istirahat. Sedikit murid saja yang menikmati jajanan yang ada di kantin. Sebagian besar lebih memilih membaca lagi bahan yang akan diujikan pada saat jeda antara ujian.
Julian tak pernah lagi mengajak Rana bicara, menegur pun tidak. Rana merasa ada yang salah, tapi dia lebih memilih diam.
Kata-kata yang diucapkan Rana masih terngiang-ngiang di telinga Julian. Hatinya masih panas, sakit mungkin kata yang lebih tepat. Otak pintarnya tak mampu mencerna kenapa Rana bereaksi seperti itu terhadapnya. Namun begitu, dia masih menyempatkan diri sering-sering melirik ke arah Rana. Dan setiap matanya menangkap sosok Rana, hatinya tetap saja merasakan gejolak yang sama, meski hatinya pedih tiap Rana melintas di pikirannya.

************

Wajah Rana memerah, kikuk. Huuff...andai aku boleh ikut kelompok tari aja! Julian yang berdiri disebelahnya mencoba bersikap tenang, walau hatinya tengah bersorak kegirangan.
“Buuuk...aku nari aja ya?” suara Rana penuh bujuk.
“Tiga kali mendengar kamu berkata begitu sudah cukup bagi ibu, Rana. Kamu mau ikut nari? Tumben sekali, sudah mulai jadi anak perempuan kamu? Udah, paduan suara aja, kamu ‘gak pantes nari lemah gemulai gitu!” Bu Yanti sewot.
Julian tersenyum. Rana tahu anak itu menertawakannya karena kalimat terakhir Bu Yanti, kaki kanannya langsung reflek menginjak kaki kiri Julian sekuat tenaga. Tuh rasain, emang enak. Untung juga kita sebelahan, aku bisa nyiksa kamu kalo aku mau. Julian hanya meringis sedikit dan melanjutkan senyumannya yang kini tambah lebar. Entah anak itu sakit apa, dia malah senang Rana menginjak kakinya. Itu lebih baik daripada tidak mendapatkan reaksi apa-apa dari Rana. Sudah lama sekali dia ingin bisa mendengar suara gadis itu lagi. Tak apa, injakan itu juga sudah cukup mengobati rindunya.
Latihan paduan suara yang berlangsung selama dua jam itu serasa seharian bagi Rana, namun tidak bagi Julian. Belum puas dia menikmati detik-detik berdekatan dengan Rana ternyata latihan telah berakhir. Tak apa, jadwal latihan masih ada satu minggu lagi, Julian, berjuanglah! Julian senyum-senyum sendiri sambil membatin menyemangati diri sendiri.
************

            Seminggu berlalu tanpa Julian sanggup berbuat apa-apa. Tidak ada perubahan pada hubungannya dan Rana. Hal ini membuat Julian putus asa sampai-sampai membuatnya bertekad melakukan ‘sesuatu’ hari ini.
            Acara perpisahan pun dimulai, paduan suara mereka menjadi acara pembuka kedua. Julian bersikeras merapatkan posisinya pada posisi Rana, padahal Bu Yenti telah bersusah payah mengatur jarak tiap anggota paduan suara. Julian sama sekali tidak peduli, kalo ‘gak sekarang kapan lagi, waktuku makin habis! Rana yang menyadari usaha Julian berkali-kali menyikutnya, tapi tekad Julian tetap tak tergoyahkan.
            Julian berharap setelah turun dari panggung Rana akan mencak-mencak dan memakinya, dia akan senang sekali, paling tidak Rana ‘bicara’ padanya. Tapi apa yang diharapkan ternyata tidak menjadi kenyataan. Rana tetap membisu, kokoh dengan sikap yang menganggap Julian tidak ada. Julian tambah resah. Aku harus ngelakuin hal yang lain, liat aja ‘tar!
            Pada penampilan paduan suara yang kedua, Julian mencoba meraih tangan Rana dan menggenggamnya. Rana berkali berontak. Hal ini membuat teman-teman yang ada di kiri-kanan mereka terganggu. Setelah turun dari panggung, kembali Julian menanti reaksi Rana, namun gadis itu bagai batu karang. Rico yang berdiri di samping Julian saat paduan suara menanyakan apa yang terjadi padanya. Tapi Julian bingung harus menjawab apa. Akhirnya, Julian hanya meminta Rico merahasiakan apa yang terjadi kepada teman-teman dan Bu Yenti.
            Penampilan ketiga merupakan kesempatan terakhir Julian. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa mendekati Rana pada saat tidak paduan suara, kenekatannya memuncak. Kembali dia menggenggam tangan Rana. Awalnya Rana berontak, tapi akhirnya dia menyerah dan memilih membiarkan Julian menggenggam tangannya selama paduan suara.
            Pertahanan diri Rana runtuh. Akhirnya gadis itu mau melontarkan hujatannya pada Julian yang telah lama menanti.
            “Mau kamu apa sih?” Tangan Rana dilipat di depan dada, pertanda dia sedang emosi.
            “Aku cuma mau kamu tau, aku suka kamu.”
            “Aku udah dengar itu sebelumnya. Ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?”
            “Aku mau kamu jadi pacar aku!”
            “Baik, kayaknya ‘gak ada lagi yang mau kamu sampaikan, aku pergi!” Tangan Julian cepat menarik lengan Rana, secepat Rana yang buru-buru menjauhi Julian.
            “Rana, tolong mengerti, aku suka kamu!”
            “Dan aku juga minta kamu untuk mengerti, harus berapa kali aku bilang kalo AKU ‘GAK SUKA KAMU!”
            “Rana, aku mohon, cobalah mengerti...”
            “Lepasin!” Rana buru-buru menjauh begitu lengannya terlepas dari cengkraman Julian.
            “Aku tetap akan nunggu kamu, kamu dengar Rana, aku akan selalu nunggu kamu!”
            Rana tidak peduli dan tetap berlari menjauhinya. Saat itu ada beberapa murid kelas 6 yang menyaksikan kejadian itu. Gosip cepat sekali menyebar. Sore harinya, hampir semua murid perempuan kelas 6 menatap Rana sinis. Julian brengsek, bisanya nyusahin aku aja!

************

            Hari-hari terakhir di SD itu berlalu demikian cepat, dan segala usaha Julian masih belum membuahkan hasil. Rana betul-betul sekeras batu karang. Otak Julian buntu, tak ada lagi ide yang bisa muncul di otak cerdasnya. Menyerah pada takdir, akhirnya Julian menulis surat, dan memberikannya pada Rana, disertai sebuah kado kenang-kenangan. Julian menitipkannya pada Oka, dia tahu, Rana tidak akan mau menerimanya jika Julian sendiri yang menyerahkan.
            Rana yang diberi Oka sebuah bungkusan tanpa berkata apa-apa membukanya, dan menemukan sebuah buku harian dan surat di dalamnya.

Hai putri pujaanku.
Aku sengaja membuat surat ini karena aku kehabisan akal bagaimana caranya bisa bicara denganmu. Entah bagaimana lagi aku bisa menyampaikan apa yang aku rasakan terhadap kamu. Aku suka kamu, benar-benar suka. Entah apa rasa suka ini akan berakhir, aku pun nggak tahu.
Aku akan pindah ke Jakarta. Aku sudah meminta papa untuk mengijinkan aku sekolah disini, tapi karena kesehatanku yang nggak baik, aku dipaksa papa ikut ke Jakarta. Aku nggak tahu apa aku akan tahan pisah sama kamu. Yang pasti aku akan nunggu saat dimana aku bisa kesini lagi untuk menanyakan lagi apa jawaban kamu terhadap rasa sukaku.
Diary ini aku berikan sebagai kenang-kenangan. Aku berharap di diary ini kamu bisa menyampaikan apa yang selama ini tidak bisa kamu sampaikan padaku. Terlalu sering kamu diam. Atau, kamu bisa menulis apapun yang terjadi di hidupmu. Dan bila kita bertemu lagi, ijinkan lah aku membacanya. Agar aku tau apa yang terjadi padamu selama aku pergi.
Aku rasa sekian dulu.

Aku yang slalu menantikanmu
Julian

Raut wajah Rana berubah. Dia menyadarinya, yang tidak disadarinya adalah Julian yang dari tadi sibuk memencet tombol shutter di kameranya yang terarah tepat ke wajah Rana. Hanya itu lah yang sanggup Julian lakukan. Rana tidak mungkin mau menyerahkan photonya dengan sukarela. Namun Julian tidak menyadari perubahan rona wajah Rana karena terlalu fokus mengambil photo Rana.

************

Kisah ini hanyalah permulaan dari kisah yang entah bagaimana akhirnya. Tuhan akan menunjukkan bahwa cinta adalah misteri yang hanya Dia-lah yang berkuasa untuk menentukan alur cerita dan tokoh-tokoh yang terlibat. Dan kisah ini pun mengalir sesuai kehendak-Nya...